BERDAMAI DENGAN BANJIR Dr. Mislan, M.Si (Ketua ForDAS Kalimantan Timur)
Hari Senin, 28 Nopember 2016 Samarinda lumpuh oleh banjir. Jika selama ini kita prihatin karena banyak sungai yang hilang karena diurug, dipatok dan dijarah maka banjir telah berhasil balas dendam dengan membuat sungai-sungai baru seperti Sungai Vorfoo, Sungai Air Hitam, Sungai Wachid Hasyim, Sungai Antasari, Sungai AW Syahrani, Sungai Suryanata, Sungai Mugirejo, Sungai Gunung Kapur-Lempake dan lainnya. Mau apa dikata, air telah bosan melewati sungai dan parit yang semakin sempit, dangkal, kotor dan bau. Air juga telah meniru kita, yang bergayaan melakukan rembug banjir tetapi minim aksi, rendah komitmen, tidak mau susah dan tidak bekerja keras, mereka ingin berdemontrasi dan memilih berkumpul di tempat-tempat strategis seperti Simpang Empat Lembuswana, Simpang Empat Sempaja, di bawah Fly Over Air Hitam dan banyak tempat lainnya. Mungkin di hari-hari mendatang, melalui grup WA-nya, air telah sepakat akan lebih sering berkeliling Samarinda. Apakah aksinya akan damai? Maaf...dijamin tidak menyenangkan !! Mengapa terjadi banjir? Anda mengeluh karena banjir? Anda merasa dirugikan oleh banjir? Anda akan menyalahkan hujan? Apakah cukup walikota mengatakan prihatin atau anda termasuk yang prihatin dengan pernyataan prihatin tersebut? Apakah banjir juga terkait dengan lemahnya kepemimpinan? Hampir semua orang sudah tahu bahwa banjir dikarenakan faktor hujan, lahan dan tanah, sungai, pasang air laut dan lainnya. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan berakumulasi, selanjutnya membentuk hasil yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kalaucurah hujan tinggi, sungai/saluran sempit dan dangkal, daerah aliran sungai yang rusak dan air laut/sungai besar yang sedang pasang, insyaAllah dijamin banjir. Jadi tergantung kondisi daerah aliran sungainya sehingga hujan tidak selalu dapat dijadikan kambing hitam, apalagi hujan sebenarnya diturunkan untuk menjadi rahmat. Banjir diperkirakan terus meningkat frekuensi dan intensitasnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar, baik infrastruktur, ekonomi, sosial dan jiwa. Informasi BNPB (Kompas, 16 Oktober 2016) menyatakan untuk Indonesiabahwa banjir mengancam 315 kab/kota dengan penduduk yang terpapar 60 juta jiwa dengan Rp. 40 milyar per tahun. Banjir juga tidak peduli menyasar rakyat kecil, pejabat, ormas atau laskar, dan siapapun. Banjir diyakini mampu menihilkan nilai investasi dan menurunkan laju pembangunan. Banjir memang sangat melumpuhkan, termasuk bagi sebagian besar kota-kota di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Banjir memang tidak mengenakkan maka saya berempati dan simpati jika anda dirugikan oleh banjir. Jika diperbolehkan, saya sebagai teman air-ijinkan saya mewakili air meminta maaf kepada bapak/ibu/saudara. Lalu kenapa kita harus berdamai dengan banjir? Kenapa tidak kita lawan, seperti kata mantan salah satu walikota Samarinda? Atau kita terus mengeluh, menuntut orang lain berbuat sementara kita malas dan suka menambah persoalan? Atau banjir memang tidak bisa dihilangkan sehingga menjadi pembenar bahwa kita boleh malas, lamban, tidak bekerja sepenuh hati, lupa tanggung jawab dan komitmen ketika banjir telah lewat. Akah perspektif lain untuk kita? Haruskah kita selalu melihat banjir dari sisi yang buruk? Apakah kita tidak mampu melihat dan menikmati indahnya wisata banjir sekaligus memancing? Stop!! Sudah saatnya kita lebih memahami banjir, air dan perilakunya, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Benarkah kita tidak ingin kebanjiran? Bukankah banjir juga disebabkan oleh kesalahan kita. Mengapa kita selalu menyalahkan banjir, padahal banjir dari dulu seperti itu. Mengapa kita harus berdamai dengan banjir? Berdamai dengan banjir bukan bentuk kekalahan, tetapi jujur mengakui bahwa kita menjadi salah satu penyebab banjir semakin parah, memahami keterbatasan kita dalam pemahaman, perencanaan, pembiayaan dan masih sedikitnya sumbangsih kita dalam mengatasi banjir. Hanya dengan berdamai dengan banjir kita akan memiliki energi yang besar dalam memecahkan masalah banjir. Pertama, banjir memang memiliki tugas dan manfaat tertentu, seperti juga kita. Yang harus kita pahami, (1) banjir adalah bagian dari proses alam menjaga keseimbangan, menjaga lebar sungai agar tetap mampu dilewati kapasitas alirannya, menjaga kedalaman sungai agar tetap cukup dalam, menggelontor tumpukan sampah, membersihkan limbah rumah tangga, mencuci air yang kualitasnya buruk, memberikan sirkulasi hara dan oksigen bagi biota air, dan masih banyak lagi manfaatnya. Itu amanah dari Allahyang harus dijalankan oleh banjir. Banjir sebenarnya telah mengambil banyak tugas kita. Tak banyak dari kita yang peduli dan mau membersihkan sungai, justru yang banyak adalah mematok, menguruk, menjarah sungai dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir sampah dan kakus; (2) Banjir juga memberikan kesempatan dan pelatihan kita untuk tangguh terhadap bencana, mengubah respon darurat menjadi pengurangan resiko bencana. Kita harus berlatih untuk menghadapi banjir yang lebih parah, agar kita selalu waspada dan kuat. Hujan yang sekarang belum tentu hujan yang paling besar dan yang terlama, apalagi kalau perubahan iklim semakin meningkat; (3) Banjir menjadi pengingat bahwa kita punya tanggung jawab mengelola daerah aliran sungai agar tetap baik, merawat sungai, tidak tamak terhadap sumber daya alam, dan menyadari semua ini milik anak cucu yang kita pinjam bukan kita wariskan. Alhamdullilah, banjir di Samarinda bukan banjir bandang tetapi banjir genangan, yang
airnya bingung dan tersesat saat kembali ke Sungai Mahakam dan Selat Makasar. Kata Ebiet G. Ade: ini hanya peringatan belum hukuman!! Tentu, kita tidak harus menunggu sampai tenggelam untuk sadar. Alasan kedua, faktanya sikap, komitmen, budaya dan tanggung jawab kita belum memadai untuk mengendalikan banjir. Mari kita instropeksi dengan sepenuh hati. Sudahkah kita memperlakukan sungai-sungai dengan baik? Faktanya kita masih memperlakukan sungai seperti tempat pembuangan akhir. Mari kita lihat Sungai Karang Mumus, Saluran Sempaja, Sungai Karang Asam Besar, Sungai Karang Asam Kecil, Sungai Palaran dan lainnya, semuanya memprihatinkan. Selain penuh sampah dan dangkal, sungai-sungai itu dipatoki dan dijarah sehingga sempit. Kita telah jahat dan aniaya kepada sungai. Lalu apa yang salah kalau sungai marah dan membalas? Boleh saja kita bicara Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi sungai diciptakan dengan Hak Asasi Sungai (HAS), dengan lebar dan dalam tertentu, dengan sempadan dan bantaran yang menjadi miliknya. Apa yang sudah kita berikan kepada sungai dan lingkungannya? Kita sudah menghilangkan hutan, menambang batubara dan galian C, memanfaatkan air, mengambil kayu, ikan, madu dan kekayaan sumber daya lainnya, tetapi apa yang kita berikan, kecuali limbah dan sampah, erosi-sedimentasi dan merusak dengan cara-cara lainnya. Kita juga dengan seenaknya menguruk rawa-rawa, meruntuhkan gununggunung dan membangun permukiman dengan sembarangan, akhirnya daerah retensi banjir menjadi hilang dan saluran menjadi dangkal. Mari berhenti saling menyalahkan, tetapi yang salah sebaiknya mengaku salah dan bertobat, yang punya tupoksi bekerja keras dengan tupoksinya, yang jadi pemimpin harus membuktikan mampu jadi pemimpin. Banjir urusan semua orang, tanggung jawab kita semua, dan tidak seorang pun menginginkan banjir. Tapi kalau kita tidak peduli banjir akan menagih hutang-hutang kita. Sudah banyak rencana teknis yang sudah disusun tinggal bagaimana mewujudkannya, oleh karena itu penulis cukup memberikan saran non teknis yang tidak memerlukan banyak biaya tetapi membutuhkan kesungguhan dan kerja keras: 1) Saya menghimbau, Pak Jaang sebagai walikota tetap memimpin langsung pengendalian banjir di Samarinda, menegaskan kepedulian dan kehadirannya. Menyatakan keprihatinan itu penting, tapi tidak cukup. Masyarakat Samarinda tentu berharap walikotalah yang memimpin dan menyatukan seluruh kekuatan sumber daya yang ada, bukan wakil walikota. Jika Pak Jaang tulus, serius, penuh komitmen, gesit, trengginas dan berani, insyaAllah seluruh komponen masyarakat di Samarinda akan mengikuiti, membantu dan bersedia bahu membahu.Janji politik harus ditepati, apalagi walikota sudah sangat berpengalaman dan tahu betul permasalahannya.
2) Kendalikan atau hentikan pembukaan lahan seperti galian C, perumahan, tambang batu bara illegal. Sudah saatnya bekerja keras dan bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran dari mulai perijinan, pengaturan run-off, penghijauan, penyempitan sungai, pemanfaatan saluran drainase dan pengelolaan limbah dan sampah. Pembangunan perumahan dan galian C di Sempaja Ujung sebaiknya dievaluasi dan dihentikankarena penyebab erosi-sedimentasi yang tinggi, demikian juga galian C di Gunung Air Putih, Mugirejo, Lempake, dan tempat lainnya. Kerugian karena tidak mampu mengendalikan kegiatan-kegiatan tersebut diyakini lebih besar dibandingkan PAD yang diperoleh, ditambah munculnya ketidakpercayaan masyarakat bahawa Pemkot Samarinda tidak bisa bekerja dengan baik. 3) Kalau masyarakat ingin banjir tidak semakin parah, sebaiknya masyarakat tidak memanfaatkan saluran drainase yang menyebabkan air tidak mengalir lancar, dengan cara menyempitkan, membuat jembatan yang terlalu rendah atau membuang sampah. Kalaupun masih banjir setidaknya lingkungan dalam kondisi bersih. Bagi masyarakat diLangkah-langkah ini tidak perlu banyak biaya bahkan gratis tetapi akan menjadi sumbangsih yang besar. Sudah saatnya masyarakat tidak memikirkan sendiri, mengeluh saat banjir, tapi tidak mau membantu saat Pemkot Samarinda perlu bantuan. Bagi masyarakat yang tinggal di sempadan sungai sebaiknya bijak untuk melihat kemungkinan mengikuti relokasi dan setidaknya tidak menambah bangunan yang masuk ke badan sungai. Diperlukan pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah kota Samarinda bagi masyarakat yang sedang membangun terutama terkait saluran drainase, jembatan ke rumah, pemasanan gorong-gorongdansebagainya. 4) Mari kita lindungi rawa-rawa. Membuat kolam retensi untuk menampung dan mengendalikan air butuh biaya mahal, oleh karena itu keberadaan rawa-rawa sangat penting dijaga. Pemkot Samarinda sudah saatnya memiliki rencana dan instrumen pengendalian rawa-rawa dan pemanfaatanya sebagai penampung air yang parkir. Jika di SKM, rawa-rawa mulau Gunung Lingai sampai di Waduk Benanga dapat dirawat dan dibebaskan dari okupasi lahan oleh masyarakat maka akan mampu menampung jutaan meter kubik air yang siap turun ke kota. Diharapkan tidak ada kebijakan atau kegiatan yang mendorong kegiatan okupasi lahan oleh masyarakat. 5) Mari kita dorong dan dukung terbentuknya komunitas-komunitas peduli lingkungan dan sungai. Kita telah memiiliki komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) yang diinisiasi oleh P Misman dan kawankawan. Komunitas semacam ini sangat diperlukan dan diharapkan hadir di seluruh sungai-sungai kita.
6) Sub DAS Karang Mumus, banyak DAS dan SubDAS lainnya belum memiliki rencana pengelolaan DAS/Sub-DAS Terpadu. Ini berarti, sebenarnya kita belum memiliki pemahaman dan komitmen yang cukup untuk menempatkan DAS sebagai satuan pengelolaan pembangunan, belum menjadikan sungai sebagai indikator keberhasilan pembangunan dan peradaban. Kita harus duduk bersama menyusun dan menyepakati bagaimana masa depan sungai-sungai kita terutama bagaimana mewujudkan restorasinya. Dengan bertemu dan kompak tentunya kita akan dapat menggambar sungai-sungai kita dengan warna yang lebih baik, terutama dengan basis komunitas yang ada di masyarakat. Soal biaya dan kelembagaan, saya yakin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi pasti membantu, yang terpenting adalah koordinasi dan siapa yang mau memimpin untuk mewujudkan keinginan bersama tersebut. Forum DAS Kaltim siap membantu sebagai penyambung lidah dari air, sungai dan daerah aliran sungai kepada seluruh pihak yang terkait. Mari berdamai dengan banjir. Semoga kita tidak terus mengeluh dan menyalahkan banjir. Karena bagiamanapun banjir adalah cerminan apa yang kita perbuat. Siapa menabur angin akan menuai badai, siapa yang merusak dan membiarkan lingkungan rusak akan ditemui banjir. Hujan dan air adalah rahmat, menjadi bencana atau tidak adalah pilihan kita.
Samarinda, 1 Desember 2016.
Dr. Mislan,M.Si Ketua Forum DAS Kaltim(2015-2020), Dosen FMIPA UNMUL, Sekretaris Tim GNKPA Kaltim dan Ketua Kelompok Kajian Iklim, Air dan Bencana (KK-IAB) FMIPA UNMUL; HP. 081347001790; Email:airmasadepan@yahoo.co.id).
Wahhh paragraf n marginnya gak diatur nh. ...
BalasHapus